Saturday, January 16, 2010

Imam al-Nasa’i

Nama Beliau


Nama lengkap Imam al-Nasa’i adalah Abu Abd al-Rahman Ahmad bin Ali bin Syuaib bin Ali bin Sinan bin Bahr al-khurasani al-Qadi. Lahir di daerah Nasa’ pada tahun 215 H. Ada juga sementara ulama yang mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 214 H. Beliau dinisbahkan kepada daerah Nasa’ (al-Nasa’i), daerah yang menjadi saksi bisu kelahiran seorang ahli hadis kaliber dunia. Beliau berhasil menyusun sebuah kitab monumental dalam kajian hadis, yakni al-Mujtaba’ yang pada masa kini masyhur dengan sebutan Sunan al-Nasa’i.

Pengembaraan intelektual



Pada awalnya, beliau membesar dan berkembang di daerah Nasa’. Beliau berhasil menghafal al-Qur’an di Madrasah yang ada di desa kelahirannya. Beliau juga banyak belajar berbagai disiplin ilmu keagamaan dari para ulama di daerahnya. Zaman remaja, seiring dengan peningkatan kekuatan intelektualnya, beliaupun mulai gemar melakukan lawatan ilmiah ke berbagai penjuru dunia. Apalagi kalau bukan untuk guna memburu ilmu-ilmu keagamaan, terutama disiplin hadis dan ilmu Hadis.


Belum genap usia 15 tahun, beliau sudah melakukan mengembar ke berbagai wilayah Islam, seperti Mesir, Hijaz, Iraq, Syam, Khurasan, dan lain sebagainya. Sebenarnya, lawatan intelektual yang demikian, bahkan dilakukan pada usia dini, bukan merupakan hal yang aneh dikalangan para Imam Hadis. Semua imam hadis, terutama enam imam hadis, yang biografinya banyak kita ketahui, sudah gemar melakukan perlawatan ilmiah ke berbagai wilayah Islam semenjak usia dini. Dan itu merupakan ciri khas ulama-ulama hadis, termasuk Imam al-Nasa’i.


Kemampuan intelektual Imam al-Nasa’i menjadi kian matang dan berisi dalam masa pengembaraannya. Namun demikian, awal proses pembelajarannya di daerah Nasa’ tidak boleh di pinggirkankan begitu saja, kerana di daerah inilah, beliau mengalami proses pembentukan intelektual, sementara masa pengembaraannya dinilai sebagai proses pematangan dan perluasan pengetahuan.

Guru dan murid



Seperti para pendahulunya: Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, dan Imam al-Tirmidzi, Imam al-Nasa’i juga tercatat mempunyai banyak pengajar dan murid. Para guru beliau yang nama harumnya tercatat oleh pena sejarah antara lain; Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Ibrahim, Ishaq bin Rahawaih, al-Harits bin Miskin, Ali bin Kasyram, Imam Abu Dawud (penyusun Sunan Abi Dawud), serta Imam Abu Isa al-Tirmidzi (penyusun al-Jami’/Sunan al-Tirmidzi).


Sementara murid-murid yang setia mendengarkan fatwa-fatwa dan ceramah-ceramah beliau, antara lain; Abu al-Qasim al-Thabarani (pengarang tiga buku kitab Mu’jam), Abu Ja’far al-Thahawi, al-Hasan bin al-Khadir al-Suyuti, Muhammad bin Muawiyah bin al-Ahmar al-Andalusi, Abu Nashr al-Dalaby, dan Abu Bakrbin Ahmad al-Sunni. Nama yang disebut terakhir, disamping sebagai murid juga tercatat sebagai “penyambung lidah” Imam al-Nasa’i dalam meriwayatkan kitab Sunan al-Nasa’i.


Sudah diketahui dikalangan peminat kajian hadis dan ilmu hadis, para imam hadis merupakan sosok yang memiliki ketekunan dan keuletan yang patut diteladani. Dalam masa ketekunannya inilah, para imam hadis kerap kali menghasilkan karya tulis yang tak terhingga nilainya.


Tidak ketinggalan pula Imam al-Nasa’i. Karangan-karangan beliau yang sampai kepada kita dan telah diabadikan oleh pena sejarah antara lain; al-Sunan al-Kubra, al-Sunan al-Sughra (kitab ini merupakan bentuk perampingan dari kitab al-Sunan al-Kubra), al-Khashais, Fadhail al-Shahabah, dan al-Manasik. Menurut sebuah keterangan yang diberikan oleh Imam Ibn al-Atsir al-Jazairi dalam kitabnya Jami al-Ushul, kitab ini disusun berdasarkan pandangan-pandangan fiqh mazhab Syafi’i.

Kitab al-Mujtaba



Sekarang, karangan Imam al-Nasa’i paling monumental adalah Sunan al-Nasa’i. Sebenarnya, bila ditelusuri secara seksama, terlihat bahawa penamaan karya monumental beliau sehingga menjadi Sunan al-Nasa’i sebagaimana yang kita kenal sekarang, melalui proses panjang, dari al-Sunan al-Kubra, al-Sunan al-Sughra, al-Mujtaba, dan terakhir terkenal dengan sebutan Sunan al-Nasa’i.


Untuk pertama kali, sebelum disebut dengan Sunan al-Nasa’i, kitab ini dikenal dengan al-Sunan al-Kubra. Setelah selesai menulis kitab ini, beliau kemudian menghadiahkan kitab ini kepada Amir Ramlah (Walikota Ramlah) sebagai tanda penghormatan. Amir kemudian bertanya kepada al-Nasa’i, “Apakah kitab ini seluruhnya berisi hadis shahih?” Beliau menjawab dengan kejujuran, “Ada yang shahih, hasan, dan adapula yang hampir serupa dengannya”.


Kemudian Amir berkata kembali, “Kalau demikian halnya, maka pisahkanlah hadis yang shahih-shahih saja”. Atas permintaan Amir ini, beliau kemudian menyeleksi dengan ketat semua hadis yang telah tertuang dalam kitab al-Sunan al-Kubra. Dan akhirnya beliau berhasil melakukan perampingan terhadap al-Sunan al-Kubra, sehingga menjadi al-Sunan al-Sughra. Dari segi penamaan saja, sudah bisa dinilai bahawa kitab yang kedua merupakan bentuk perampingan dari kitab yang pertama.


Imam al-Nasa’i sangat teliti dalam menyeleksi hadis-hadis yang termuat dalam kitab pertama. Oleh karenanya, banyak ulama berkomentar “Kedudukan kitab al-Sunan al-Sughra dibawah darjat Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Di dua kitab terakhir, sedikit sekali hadis dhaif yang terdapat di dalamnya”. Nah, kerana hadis-hadis yang termuat di dalam kitab kedua (al-Sunan al-Sughra) merupakan hadis-hadis pilihan yang telah ditapis dengan teliti, maka kitab ini juga dinamakan al-Mujtaba. Pengertian al-Mujtaba bersinonim dengan al-Maukhtar (yang terpilih), kerana memang kitab ini berisi hadis-hadis pilihan, hadis-hadis hasil terpilih dari kitab al-Sunan al-Kubra.


Disamping al-Mujtaba, dalam salah satu riwayat, kitab ini juga dinamakan dengan al-Mujtana. Pada masanya, kitab ini terkenal dengan sebutan al-Mujtaba, sehingga nama al-Sunan al-Sughra seperti tenggelam ditelan keharuman nama al-Mujtaba. Dari al-Mujtaba inilah kemudian kitab ini dikenali dengan sebutan Sunan al-Nasa’i, sebagaimana kita kenal sekarang. Dan nampaknya untuk selanjutnya, kitab ini tidak akan mengalami perubahan nama seperti yang terjadi sebelumnya.

Kritikan Ibn al-Jauzy



Kita perlu menilai jawaban Imam al-Nasa’i terhadap pertanyaan Amir Ramlah secara kritis, dimana beliau mengatakan dengan sejujurnya bahwa hadis-hadis yang terdapat dalam kitabnya tidak semuanya shahih, tapi ada pula yang hasan, dan ada pula yang menyerupainya. Beliau tidak mengatakan bahawa didalamnya terdapat hadis dhaif (lemah) atau maudhu (palsu). Ini artinya beliau tidak pernah memasukkan sebuah hadis pun yang dinilai sebagai hadis dhaif atau maudhu’, minimal menurut pandangan beliau.


Apabila setelah hadis-hadis yang ada di dalam kitab pertama dikaji dengan teliti, sesuai permintaan Amir Ramlah supaya beliau hanya menuliskan hadis yang bertaraf shahih semata. Dari sini boleh diambil kesimpulan, apabila hadis hasan saja tidak dimasukkan kedalam kitabnya, hadis yang berkualitas dhaif dan maudhu’ tentu lebih tidak berhak untuk disandingkan dengan hadis-hadis shahih.


Namun demikian, Ibn al-Jauzy pengarang kitab al Maudhuat (hadis-hadis palsu), mengatakan bahawa hadis-hadis yang ada di dalam kitab al-Sunan al-Sughra tidak semuanya berkualitas shahih, namun ada yang maudhu’ (palsu). Ibn al-Jauzy menemukan sepuluh hadis maudhu’ di dalamnya, sehingga memunculkan kritik tajam terhadap kualiti al-Sunan al-Sughra. Seperti yang telah disinggung dimuka, hadis itu semua shahih menurut Imam al-Nasa’i. Adapun orang belakangan menilai hadis tersebut ada yang maudhu’, itu merupakan pandangan peribadi penilai. Dan masing-masing orang mempunyai kaedah-kaedah sendiri dalam menilai kualiti sebuah hadis. Demikian pula kaedah yang ditawarkan Imam al-Nasa’i dalam menilai keshahihan sebuah hadis, nampaknya berbeda dengan kaedah yang diterapkan oleh Ibn al-Jauzy. Sehingga dari sini akan memunculkan pandangan yang berbeda, dan itu sesuatu yang wajar terjadi. Sudut pandang yang berbeda akan menimbulkan kesimpulan yang berbeza pula.


Kritikan pedas Ibn al-Jauzy terhadap kualiti karya monumental Imam al-Nasa’i ini, nampaknya mendapatkan bantahan yang cukup keras pula dari pakar hadis abad ke-9, yakni Imam Jalal al-Din al-Suyuti, dalam Sunan al-Nasa’i, memang terdapat hadis yang shahih, hasan, dan dhaif. Hanya saja jumlahnya relatif sedikit. Imam al-Suyuti tidak sampai menghasilkan kesimpulan bahwa ada hadis maudhu’ yang termuat dalam Sunan al-Nasa’i, sebagaimana kesimpulan yang dimunculkan oleh Imam Ibn al-Jauzy. Adapun pendapat ulama yang mengatakan bahawa hadis yang ada di dalam kitab Sunan al-Nasa’i semuanya bertaraf shahih, ini merupakan pandangan yang menurut Muhammad Abu Syahbah tidak didukung oleh penelitian mendalam dan terperinci. Kecuali maksud pernyataan itu bahawa mejoriti (sebagian besar) isi kitab Sunan al-Nasa’i bertaraf shahih.

Komentar Ulama



Imam al-Nasa’i merupakan seorang yang cermat dan teliti dalam meneliti dan mengkaji para periwayat hadis. Beliau juga telah menetapkan syarat-syarat tertentu dalam proses penyeleksian hadis-hadis yang diterimanya. Abu Ali al-Naisapuri pernah mengatakan, “Orang yang meriwayatkan hadis kepada kami adalah seorang imam hadis yang telah diakui oleh para ulama, ia bernama Abu Abd al Rahman al-Nasa’i.”


Lebih jauh lagi Imam al-Naisapuri mengatakan, “Syarat-syarat yang ditetapkan al-Nasa’i dalam menilai para periwayat hadis lebih ketat dan keras ketimbang syarat-syarat yang digunakan Muslim bin al-Hajjaj.” Ini merupakan komentar subjektif Imam al-Naisapuri terhadap pribadi al-Nasa’i yang berbeza dengan komentar ulama pada umumnya. Ulama pada umumnya lebih mengagungkan ketelitian penilaian Imam Muslim bin al-Hajjaj terhadap al-Nasa’i. Bahkan komentar mejoriti ulama ini pulalah yang meletakan Imam Muslim sebagai pakar hadis kedua selepas al-Bukhari.


Namun demikian, bukan bererti mejoriti ulama merendahkan kredibiliti Imam al-Nasa’i. Imam al-Nasa’i tidak hanya ahli dalam bidang hadis dan ilmu hadis, namun juga dalam bidang feqh. Al-Daruquthni pernah mengatakan, beliau adalah salah seorang Syeikh di Mesir yang paling ahli dalam bidang feqh pada masanya dan paling mengetahui tentang Hadis dan para rawi. Al-Hakim Abu Abdullah berkata, “Pendapat-pendapat Abu Abd al-Rahman mengenai feqh yang diambil dari hadis terlampau banyak untuk dapat kita kemukakan seluruhnya. Siapa yang menelaah dan mengkaji kitab Sunan al-Nasa’i, ia akan terpesona dengan keindahan dan kebagusan kata-katanya.”


Tidak ditemukan riwayat yang jelas tentang pandangan fiqh beliau, kecuali komentar singkat Imam Madzhab Syafi’i. Pandangan Ibn al-Atsir ini dapat diketahui dan difahami, kerana memang Imam al-Nasa’i lama menetap di Mesir, bahkan merasa seronok tinggal di sana. Beliau baru berhijrah dari Mesir ke Damsyik setahun menjelang kewafatannya.

Kerana Imam al-Nasa’i cukup lama tinggal di Mesir, sementara Imam al-Syafi’i juga lama menyebarkan pandangan-pandangan feqhnya di Mesir (setelah kepindahannya dari Bagdad), maka walaupun antara keduanya tidak pernah bertemu, karena al-Nasa’i baru lahir sebelas tahun setelah kewafatan Imam al-Syafi’i, tidak menutup kemungkinan banyak pandangan-pandangan fiqh Madzhab Syafi’i yang beliau ambil melalui murid-murid Imam al-Syafi’i yang tinggal di Mesir. Pandangan fiqh Imam al-Syafi’i lebih tersebar di Mesir berbanding di Baghdad. Hal ini lebih membuka peluang bagi Imam al-Nasa’i untuk mengambil pandangan feqh Syafi’i. Dan ini akan menguatkan pandangan Ibn al-Atsir tentang analisa mazhab feqh al-Nasa’i.



Pandangan Syafi’i di Mesir ini kemudian dikenal dengan qaul jadid (pandangan baru). Dan ini seandainya dugaan Ibn al-Atsir benar, mengindikasikan bahawa pandangan fiqh Syafi’i dan al-Nasa’i lebih di dominasi pandangan baru (Qaul Jadid, Mesir) berbanding pandangan klasik (Qaul Qadim, Baghdad).


Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahawa Imam al-Nasa’i merupakan seorang yang berpandangan terbuka, tidak memihak salah satu pandangan mazhab feqh mana pun, termasuk pandangan Imam al-Syafi’i. Hal ini seringkali terjadi pada imam-imam hadis sebelum al-Nasa’i, yang hanya berpegan pada mazhab hadis. Dan kecederungan pandangan ini merupakan ciri khas imam-imam hadis. Oleh kerana itu, untuk mengetahui pandangan Imam al-Nasa’i telah terpengaruh oleh pandangan orang lain, kita perlu meneliti sumber sejarah yang tepat, bukannya hanya berdasarkan sangkaan semata-mata.

Akhir Usia



Setahun menjelang matiannya, beliau pindah dari Mesir ke Damsyik. Dan nampaknyatidak ada khusus ulama tentang tempat meninggal beliau. Al-Daruqutni mengatakan, beliau di Makkah dan dikebumikan diantara Shafa dan Marwah. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Abdullah bin Mandah dari Hamzah al-’Uqbi al-Mishri.


Sementara ulama yang lain, seperti Imam al-Dzahabi, menolak pendapat tersebut. Ia mengatakan, Imam al-Nasa’i meninggal di Ramlah, suatu daerah di Palestina. Pendapat ini didukung oleh Ibn Yunus, Abu Ja’far al-Thahawi (murid al-Nasa’i) dan Abu Bakar al-Naqatah. Menurut pandangan terakhir ini, Imam al-Nasa’i meninggal pada tahun 303 H dan dikebumikan di Bait al-Maqdis, Palestina. Inna lillah wa Inna Ilai Rajiun. Semoga susah payahnya dalam membawa wasiat Rasullullah dengan mengumpulkan hadis mendapatkan balasan yang setimpal di sisi Allah. Amiiin.

No comments: