Thursday, March 26, 2009

Kaedah Mengkritik

Kaedah Mengkritik Sesama Ahlus Sunnah Wal Jamaah


Ust Dr Abdullah Yasin

عَنْ ابْنِ عُمَر رَضِى اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا مَعْشَرَ مَنْ اَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَلمْ يَدْخُلِ الاِيمَانُ فِى قَلْبِهِ، لاَ تُؤْذُوا الْمُسْلِمِيْنَ وَلاَ تعيرُوْهُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّ مَنِ تَّبَعَ عَوْرَةَ أخِيْهِ الْمُسْلِمِ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ يُفَضِّحْهُ وَلَوْ فِى جَوْفِ رَحْلِهِ.

(رواه الترمذى - صحيح)

Terjemahan:

Daripada Ibnu Omar (ra) katanya: Rasulullah (sallallahu alaihi wasalam) telah bersabda: “Wahai sekalian orang yang hanya Islam pada lidahnya, yang belum lagi sampai iman ke dalam hatinya; Janganlah kamu menyakiti orang-orang Islam, dan janganlah kamu memburuk-burukkan mereka, dan janganlah kamu suka mencari-cari kelemahan atau keburukan mereka, karena sesungguhnya sesiapa yang (gemar) mencari-cari keburukan saudaranya sesama Islam, niscaya Allah akan mencari-cari keburukannya, dan sesiapa yang Allah cari-cari kelemahannya niscaya Allah akan bongkarkan keburukannya walaupun ia ketika itu sedang berada di tengah-tengah rumahnya (di tempat yang tersembunyi).

[Hadis Sahih Riwayat Imam Tarmidzi]

Mukaddimah:

Golongan Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah adalah satu golongan yang bukan saja mempunyai keistimewaan dari sudut Akidah dan cara mereka beribadah tetapi juga memiliki keistimewaan atau ciri-ciri khas dalam pergaulan, lebih-lebih lagi dalam mereka menilai atau mengkritik sesama golongan Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah. Pembahasan ini tidak termasuk kritikan mereka kepada Kuffar atau Golongan Luar Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah.

Pada garis besarnya terdapat 3 puak dalam Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah dalam mereka membuat kritikan atau tegoran kepada rakan-rakan mereka sesama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah:

1. Puak yang terlalu bertolak ansor. Mereka bersikap berdiam diri hatta terhadap perkara-perkara asas yang menjadi pembeda utama antara mereka dengan golongan yang lain.

2. Puak yang tidak bertolak ansor dalam segala hal. Puak ini lupa bahwa perbedaan pandangan dalam masalah cabang telah wujud pada zaman para Sahabat Rasul (sallallahu alaihi wasalam) lagi. Tidak ragu lagi bahwa puak yang ekstrim ini seolah-olah ingin mencari sesuatu yang mustahil.

3. Puak yang wasatha (pertengahan) di antara dua puak di atas. Mereka tidak akan bertolak ansor dalam hal yang berkaitan dengan akidah. Mereka akan terus berusaha mengajak umat manusia kepada akidah yang sahih (betul) melalui tarbiyah dan ta’liim (pendidikan dan pengajaran). Tetapi pada waktu yang sama puak ini dapat menerima realiti akan adanya perbedaan pandangan di kalangan mereka dalam hal yang berkaitan dengan masalah ijtihad. Mereka berusaha untuk memperbetulnya dengan cara hikmah. Perbedaan ijtihad itu tidak menghalang untuk mereka terus membimbing masyarakat.

Uraian Al-Hadis:

Dari hadis di atas dapat diambil beberapa kesimpulan:

  1. Sikap suka menyakiti muslim lain, mencela dan mencari-cari kelemahan mereka, lebih-lebih lagi kalau sasarannya para ulama adalah di antara tanda muslim yang belum beriman.

  1. Hati yang diliputi oleh iman akan dapat membentuk prilaku manusia berkenaan untuk menjadi muslim mukmin yang baik.

  1. Allah memberi amaran keras akan membongkar kesalahan dan keburukan orang yang gemar menceritakan aib muslim lain.

Kaedah Membuat Kritikan:

Terdapat beberapa kaedah atau adab dalam kita membuat kritikan atau tegoran terhadap sesama golongan Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah:

(1) Takut Kepada Allah

Sungguh banyak ayat Al-Quran ataupun hadis Nabi yang melarang kita mengumpat atau menceritakan keburukan orang lain. Allah seolah menyamakan perbuatan itu seperti memakan daging saudara kita yang sudah mati.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan daripada sangkaan, sesungguhnya sebahagian daripada sangkaan itu adalah dosa.

(Al-Hujurat 49:12)

Rasulullah (sallallahu alaihi wasalam) bersabda: “Riba ada 70 pintu, pintunya yang paling rendah ialah berzina dengan ibunya, dan pintu riba yang paling tinggi ialah menceritakan keburukan saudaranya (seagama)”.

[Hadis Sahih Riwayat Thabarany daripada Al-Barraa dalam Al-Ausath dan lihat Silsilah Hadis Sahih no. 3531]

Hal ini tidak mengherankan karena Nabi (sallallahu alaihi wasalam) pernah menyebut dalam hadis yang lain bahwa dosa pengumpat adalah lebih besar daripada berzina karena dosa zina boleh diampuni oleh Allah SWT tetapi dosa mengumpat mesti mohon maaf kepada manusia yang diumpat.

(2) Dahulukan Baik Sangka

Asas kaedah ini ialah firman Allah dalam Al-Hujurat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan daripada sangkaan, sesungguhnya sebahagian daripada sangkaan itu adalah dosa.

(Al-Hujurat 49:12)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا

Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.

(Al-Hujurat 49:6)

Dan Rasulullah (sallallahu alaihi wasalam) bersabda: “Memadailah seseorang itu dibebankan dosa jika ia menceritakan setiap apa yang dia dengar”.

[HR Muslim]

Jadi pada asalnya: Muslim mestilah menyembunyikan ‘aib muslim lain dan berbaik sangka sentiasa terhadap mereka kecuali ketika darurat.

(3) Berilmu Dan Adil

Jika kita memperkatakan tentang seseorang maka hendaklah kita memperkatakannya berdasarkan ilmu dan bersikap adil. Dan asas kaedah ini ialah antara lain firman Allah:

وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى

Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil: Berlaku adil-lah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.

(Al-Maaidah 5:8)

وَلاَ تَبْخَسُواْ النَّاسَ أَشْيَاءهُمْ

Dan janganlah kamu-kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka

(Huud 11:85)

Ibnu Taimiyah berkata: Memperkatakan keburukan manusia lain mestilah berlandaskan keilmuan dan keadilan, bukan berdasarkan kejahilan dan kezaliman, sebagaimana yang dilakukan oleh Ahlul Bid’ah (Minhajus Sunnah 4/337).

Juga termasuk keadilan yang dituntut ialah kita tidak sepatutnya hanya melihat keburukan seseorang tanpa melihat kebaikannya. Kita tidak sepatutnya menguburkan atau melupakan kebaikan seseorang hanya karena padanya terdapat satu atau dua keburukan. Renunglah tentang rahasia yang tersirat di dalam sabda Nabi Muhammad (sallallahu alaihi wasalam): “Air jika sampai dua kulah tidak menanggung najis” [HR Daramy dan Daruquthny].

Keadilan tersebut wajib ditegakkan walaupun kita berbeda dengan mereka dalam akidah, mazhab dan aliran.

Memperkatakan keburukan orang lain tanpa ilmu dan keadilan inilah penyebab utama perpecahan dikalangan umat, dan timbul sifat hasad dengki dan saling benci-membenci. Bahkan ini juga penyebab kegagalan usaha penyatuan kekuatan umat.

(4) Kebaikan Yang Banyak Sebagai Ukuran

Jika air sampai batas dua kulah maka air tersebut dalam pandangan Islam dihukumkan suci dan tidak bernajis walaupun terdapat sedikit najis di dalamnya. Mengapa? Karena yang menjadi ukuran ialah banyaknya air yang bersih itu, bukan diukur berdasarkan najis yang sedikit yang menimpanya.

Demikian juga dalam kita menilai manusia. Tidak ada manusia yang tidak pernah melakukan kesalahan kecuali para nabi dan para rasul. Oleh sebab itu jika seorang manusia banyak melakukan kebaikan tetapi pada waktu yang sama dia juga pernah melakukan kesalahan atau kesilapan, maka yang menjadi ukuran di sini ialah kebaikannya, bukan keburukannya.

Adalah zalim jika kita lupakan kebaikan yang banyak hanya karena kesalahannya yang sedikit. Lebih-lebih lagi jika hal tersebut berkaitan dengan masalah ijtihad. Menurut Hadis Nabi (sallallahu alaihi wasalam) bagi mereka yang telah memenuhi syarat berijtihad, jika tepat ijtihadnya maka mereka mendapat dua ganjaran, dan jika mereka keliru dalam ijtihadnya maka mereka mendapat satu ganjaran.

Mengapa di kalangan umat Islam masih wujud lagi orang yang begitu lantang mempersalahkan dan sinis dengan pandangan Imam-imam Mazhab? Padahal Allah SWT dan Rasulullah (sallallahu alaihi wasalam) tidak mempersalahkan mereka walaupun mereka tersalah?

Kita tidak ragu lagi bahwa sesiapa yang berijtihad mencari kebenaran (Al-Haq) dan agama (Ad-diin) berdasarkan panduan Rasulullah (sallallahu alaihi wasalam), lalu terkeliru dalam beberapa hal, maka Allah SWT akan mengampuni dosanya sebab Allah SWT telahpun mengabulkan doa Nabi dan Mukminiin: Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah (Al-Baqarah 2:286).

Dan sehubungan dengan ini maka timbullah kaedah dari Imam Ibnu Taimiyah:

العِبْرَةُ بِكَمَالِ النِّهَايَةِ لاَ بِنَقْصِ الْبِدَايَةِ

“Yang menjadi ukuran ialah kesempurnaan pada akhirnya, bukan kekurangan pada permulaannya”.

(5) Ukuran Kasih Dan Benci

Asas kaedah ini ialah firman Allah: Dan (ada pula) orang-orang yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampur-baurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. (At-Taubah :102)

Berdasarkan ketentuan di atas nyatalah bahwa setiap muslim biasanya terdapat dua perkara:

  1. Perkara yang baik; dan dengan sebabnya seseorangdikasihi

  1. Perkara yang buruk; dan dengan sebabnya seseorang dibenci

Adapun kasih dan walaa’ yang mutlak adalah kepada orang-orang yang beriman, sedangkan kebencian dan barraa’ yang mutlak adalah kepada orang-orang kafir, sesungguhnya konsep kasih dan benci ini dihitung sebagai perkara prinsip dalam masalah keimanan.

Hanya saja jika kaedah ini diterapkan pada orang Islam yang mencampur adukkan amalannya yang baik dengan yang jahat. Dia mestilah dikasihi karena amal salehnya, dan selanjutnya dia hendaklah dipuji sewajarnya. Sebaliknya dia juga patut dibenci karena amal jahatnya, dan selanjutnya mendapat celaan yang setimpal.

Atas dasar itu, jika seorang muslim melakukan kesalahan atau kesilapan, maka tidaklah wajar kalau dia dibenci dan dicaci secara mutlak sebagaimana yang dilakukan oleh puak khawarij yang mengkafirkan setiap muslim yang melakukan dosa besar atau maksiat. Sebagaimana juga kita tidak boleh memuji seseorang secara mutlak dan tidak akan mengangkat derjatnya ke tahap Abu Bakar dan Omar atau tahap Jibrail dan Mikail (as) seperti yang dilakukan oleh Murji-ah.

Sikap kita sebagai pengikut setia puak Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah adalah senantiasa WASATHA iaitu pertengahan, bukan GHULUW dan bukan pula TAQSHIR (Lihat Makalah: Umatan Wasatha).

Kesimpulan:

1. Golongan Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah adalah golongan yang akan selamat. Namun golongan ini ada beberapa ciri-cirinya yang tidak ada pada golongan yang lain.

2. Di antara ciri-cirinya ialah mereka mempunyai kaedah atau formula atau adab-adab tersendiri bagaimana cara menilai kesalahan sesama mereka.

3. Ahlus Sunnah Wal Jamaah bukan hanya mengutamakan aspek Akidah dan Cara Ibadah tetapi juga memberi penekanan pada aspek mualamat atau pergaulan dengan sesama insan.

Saturday, March 14, 2009

TARIKH KELAHIRAN DAN KEWAFATAN NABI

PENILAIAN SEMULA TARIKH KELAHIRAN DAN KEWAFATAN NABI MUHAMMAD S.A.W.

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Penyayang

Puji-pujian bagi Allah Subhanahu wata’ala, selawat dan salam keatas junjungan kita Nabi Muhammad s.a.w. serta para sahabatnya.

Masyarakat Islam di negara kita umumnya menerima tarikh 12hb. Rabiul Awwal sebagai hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. ( Maulidur Rasul ) . Fakta ini perlu di kaji semula kerana didapati bercanggah dengan fakta sejarah, hadis dan sains.

Disamping itu, sekiranya diterima juga tarikh wafat Nabi s.a.w. pada 12hb. Rabiul Awwal, (sebagaimana dipercayai umum), ia akan menimbulkan satu konflik di dalam jiwa masyarakat yang mana di satu pihak mereka merayakan kelahiran Nabi s.a.w. dan bergembira kerananya sedangkan di pihak lain pula pada hari yang sama sepatutnya mereka bersedih dan tidak boleh merayakan hari tersebut kerana ia juga merupakan hari kewafatan Nabi saw. Jadi di manakah adanya kewajaran masyarakat merayakan Maulidur Rasul yang juga merupakan hari perkabungannya? (Tanpa mengambil kira perayaan Maulidur Rasul itu sendiri adakah bersesuaian dengan sunnah atau ia satu bida’ah).

Di samping itu angka 12 yang dipilih untuk hari lahir dan hari wafat Nabi saw berkemungkinan besar berpunca daripada Syiah Imam Dua Belas. Justeru angka 12 ini bagi mereka merupakan angka sakti yang mereka kaitkan sekian banyak keistimewaan dengannya. Apalagi jika orang yang mula-mula mempopularkan tarikh ini adalah Ibnu Ishaq yang juga seorang Syiah. (Taqribut Tahdzib, Al Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani, jilid 2, halaman 144).

Pendapat yang menyatakan bahawa Nabi s.a.w. dilahirkan pada 12hb. Rabiul Awwal itu walaupun masyhur tetapi ia berasaskan riwayat yang lemah kerana ia berpunca daripada Ibmu Ishaq seperti mana yang diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam di dalam kitab sirahnya. Menurut ulama-ulama rijal hadis, Ibnu Ishaq selain dianggap sebagai seorang Syiah, dia juga seorang yang lemah dalam riwayat-riwayatnya. Imam Nasa’i mengatakan bahawa dia tidak kuat. Daraqutni mengatakan hadisnya tidak boleh menjadi hujjah. Imam Abu Daud ada berkata, “Dia adalah seorang yang berfahaman Qadariah dan Mu’tazilah.”

Imam Sulaiman At-Taimy, Hisyam bin Urwah, Yahya bin Said Al-Qatthan dan Imam Malik mengatakan dia seorang pendusta besar. Malah Imam Malik pernah berkata, “Dia seorang dajjal” (Mizanul I’tidal, Imam Zahabi, jilid 3, halaman 468 – 475). Ibnu Ishaq sendiri tidak menyebutkan sanad-sanad tempat ambilannya.

Pendapat yang sahih dan kuat bagi tarikh kelahiran Baginda ialah pada hari Isnin, 9hb Rabiul Awwal Tahun Gajah. Di antara ulama yang berpendapat sedemikian ialah Humaidi, Uqail, Yunus bin Yazid, Ibnu Abdillah, Ibnu Hazam, Muhammad bin Musa Al-Khuwarazmi, Abdul Khattab Ibnu Dihyah, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim, Ibnu Kathir, Ibnu Hajar dan Badruddin `Aini (Al-Bidayah wa An Nihayah, jilid 2 halaman 260-26 1)

Pendapat ini juga disokong oleh penyelidikan yang dibuat oleh seorang ahli falak yang terkenal iaitu Mahmud Pasya yang cuba menentukan tarikh gerhana matahari dan gerhana bulan yang berlaku semenjak zaman Nabi s.a.w. hingga ke zaman beliau. Berdasarkan kajian beliau, hari Isnin tidak mungkin bertepatan dengan 12hb. Rabiul Awwal mengikut perkiraan bagaimana sekalipun bahkan hari


Isnin pada bulan berkenaan (Rabiul Awwal) jatuh pada 9 haribulan. Beliau mengemukakan beberapa alasan untuk menyokong hasil kajiannya. Antara alasan-alasan yang dikemukakan oleh Mahmud Pasya ialah:

· Dalam Sahih Bukhari disebut ketika anak Rasulullah saw iaitu Ibrahim wafat, telah berlaku gerhana matahari iaitu pada tahun ke 10 Hijrah dan Nabi Muhammad saw ketika itu berusia 63 tahun.

· Berdasarkan kaedah kiraan falak, diketahui bahawa gerhana matahari yang berlaku pada tahun 1 0H itu adalah bertepatan dengan 7hb. Januari 632M pukul 8.30 pagi.

· Berdasarkan kepada kiraan ini, sekiranya kita undurkan 63 tahun ke belakang mengikut tahun qamariah, maka kelahiran Nabi saw jatuh pada tahun 571M. Berdasarkan kira-kira yang telah dibuat beliau, 1hb. Rabiul Awwal menepati 12hb. April 571M.

· Perselisihan pendapat berlaku tentang tarikh kelahiran Nabi saw, walau bagaimanapun semua pihak telah sepakat mengatakan ia berlaku pada hari Isnin bulan Rabiul Awwal tersebut. Tetapi Mahmud Pasya mendapati hari Isnin jatuh pada 9hb. Rabiul Awwal bersamaan 20hb. April 571 M. Ini menguatkan lagi pendapat ulama-ulama muktabar yang telah disebutkan di atas.

Di antara penulis sirah mutaakhir yang menyokong pendapat ini ialah Syeikh Muhammad Al Khudhori Bik di dalam “Nurul Yaqin” (hal. 6), Safiyyuul Rahman Al Mubarakpuri di dalam “Ar Rahiqul Makhtum” (halaman 54), `Allamah Sibli Nu’mani di dalam “Siratun Nabi” (jilid 1 hal. 176), Maulana Abdul Kalam Azad di dalam “Rasul Rahmat” (hal. 37) dan lain-lain.

Berhubung dengan tarikh wafat Nabi Muhammad s.a.w. pula, beberapa perkara yang telah diterima oleh ulamak hadis dan sirah perlu diletakkan di hadapan untuk menentukan tarikhnya iaitu:

· Tahun kewafatan Baginda s.a.w. ialah 1 1H

· Dalam bulan Rabiul Awwal

· Antara 1hb. Hingga 12hb.

· Hari Isnin (Sahih Muslim, jld. 8 hal. 5 1-52)

· Hari wuquf di Arafah dalam Haji Wada’ pada 9 Zulhijjah tahun ke 1 0H jatuh pada hari Jumaat. (Tafsir Al Quraanul ‘Adzim, Ibnu Katsir, jld. 2, hal. 15, Sahih Al Bukhari, Sahih Muslim, dll).

· Daripada hari itu (wuquf) sampai kepada hari wafatnya Nabi Muhammad SAW adalah 81 hari. (Tafsir Al Quraanul ‘Adzim, Ibnu Katsir, jld. 2 hal. 15, At Tafsir Al Kabir, Fakhrul Razi, j.1 1 hal. 139, Tafsir Baghawi, Fathul Bari).

Berdasarkan kepada beberapa perkara yang telah diterima oleh para ulama tadi, maka boleh diandaikan tarikh kewafatan Baginda s.a.w. seperti berikut:

1. Diandaikan ketiga-tiga bulan Zulhijjah, Muharram dan S afar mempunyai 30 hari (walaupun tidak pernah berlaku begitu tetapi diandaikan mungkin juga berlaku) maka hari Isnin menepati 6 atau 1 3hb. Rabiul Awwal.

2. Jika diandaikan ketiga-tiga bulan Zulhijjah, Muharram dan Safar mempunyai 29 hari (walaupun ini juga tidak pernah berlaku) maka hari Isnin menepati 2, 9 atau 1 6hb. Rabiul Awwal.

Selain daripada dua andaian tersebut itu, terdapat enam andaian lagi seperti yang terdapat dalam jadual berikut:


Zulhijjah (30) Muharram (29) Safar (29) 1 8 15

Zulhijjah (29) Muharram (30) Safar (29) 1 8 15

Zulhijjah (29) Muharram (29) Safar (30) 1 8 15

Zulhijjah (30) Muharram (29) Safar (30) 7 14 21

Zulhijjah (30) Muharram (30) Safar (29) 7 14 21

Zulhijjah (29) Muharram (30) Safar (30) 7 14 21

Daripada tarikh-tarikh yang diandaikan tadi; 6, 7, 8, 9, 13, 14, 15 dan 16hb. Rabiul Awwal tidak dapat diterima kerana selain daripada alasan-alasan yang tersebut tadi, tidak ada satupun riwayat yang menyokongnya. Berkenaan dengan 2hb. pula , selain daripada tidak mungkin terjadinya ketiga-tiga bulan Zulhijjah, Muharram dan Safar terdiri daripada 30 hari di dalam kesemuanya, tidak ada juga riwayat yang sahih mengenainya. Apa yang ada hanyalah riwayat Hisyam bin Muhammad Al Kalbi dan Abu Mikhnaf yang dianggap sebagai pendusta oleh ulama-ulama hadis.

Berhubung dengan 1hb. pula, ia adalah daripada riwayat tokoh utama sirah iaitu Musa bin Uqbah dan ulama hadis yang terkenal Imam Laith bin Saad, Abu Nua’im Fadhal bin Dukain dan lain-lain. Pendapat ini juga disokong oleh Imam Suhaili dan Al Khuwarazmi. (Fathul Bari, Jilid 16. hal. 206, “Ar Raudhul Unuf,” jilid 7, hal. 579). Daripada kenyataan-kenyataan yang disebut di atas, tarikh yang lebih

tepat bagi kewafatan Nabi S.A.W. ialah pada hari Isnin 1hb. Rabiul Awwal tahun 1 1H bersamaan dengan 25hb. Mei 632M.

Berdasarkan kepada fakta-fakta yang telah kami kemukakan pihak kami berharap agar masyarakat menilai semula tarikh sebenar kelahiran nabi s.a.w. dan tidak merayakan suatu hari yang kononnya hari kelahiran Nabi s.a.w. padahal ia bukanlah harinya yang sebenar.


Petikan: http://www.darulkautsar.com/pemurniansejarah/teks/nabidob.htm

Maulidil Nabi s.w.a

Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah Lagi Maha Pengasih

Segala puja dan puji bagi Allah Tuhan yang mengutus Nabi Muhammad untuk rahmat seluruh alam. Selawat dan salam ke atas junjungan besar Nabi yang terakhir Muhammad s.a.w. dan ke atas keluarganya serta para sahabatnya.

Merujuk kepada risalah pelajar pondok Pasir Tumbuh yang bertajuk ‘Maulidurrasul Dengan Dalil-Dalil Yang Nyata', maka kami kemukakan risalah ini untuk memberi penjelasan kepada masyarakat, bahawa 'SEBENARNYA TIDAK ADA SATU PUN DALIL YANG NYATA SAMADA AL-QURAN, AS-SUNNAH, IJMA' MAUPUN QlAS, BERKENAAN DENGAN AMALAN MERAYAKAN HARl KELAHIRAN NABI MUHAMMAD S.A.W.'

Dalil-dalil yang dikemukakan oleh pelajar pondok itu bukannya dalil ulamak Ahlissunnah, tetapi dalilnya sendiri semata-mata. Ini kerana tidak ada seorang pun di kalangan ulamak Ahlissunnah Waljamaah yang dahulu (salaf), bermula dengan para sahabat Rasulullah s.a.w., kemudian diikuti oleh para ulamak di kalangan tabien yang mengadakan sambutan maulidurrasul. Para Imam Mazhab Empat, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam As-Syafie dan Imam Ahmad bin Hanbal tidak pernah mengadakan sambutan maulidurrasul. Demikianlah juga keadaannya, para Imam Hadis yang terkenal seperti Bukhari, Muslim, Tarmizi, Ibnu Majah, Abu Daud, Nasai dan lain-lain tidak pernah kedengaran di telinga kita mereka ini telah mengadakan sambutan maulidurrasul sebagaimana yang diadakan sekarang.

Ulamak dan Para Imam yang tersebut di atas adalah sudah diterima dan disepakati oleh seluruh umat Islam di seluruh dunia sebagai muktabar, pandangan dan mazhab mereka dipegang dan diamal oleh umat Islam sehingga kini. Jadi, kenapa kita yang mengaku bermazhab Syafie tidak mahu mengikut dan beramal dengan amalan Syafie dalam hal ini? Mungkinkah kita hanya mengaku bermazhab Syafie tetapi pegangannya tidak kita ikuti! Agaknya kitab karangan Imam Syafie yang terkenal iaitu al-Umm pun tidak baca.

Oleh itu, jangan marah kalau kita katakan ' Hanya Orang-Orang Sesat Sahaja Yang Suka Melakukan Amalan Bidaah'.

CUBA KITA LIHAT SATU PERSATU

HUJJAH DAN DALIL YANG DIKEMUKAKAN OLEH PELAJAR PONDOK PASIR TUMBUH ITU.

1. Firman Allah yang bermaksud: “Maka mereka yang beriman dengannya (Muhammad), membesarkannya dan membantunya dan mengikut cahaya (al-Quran) yang diturunkan bersamanya. Mereka itulah yang mendapat kejayaan.” (Surah al-A’raf, Ayat:157)

Kita jawab:- Kalimah 'membesarkan Nabi' dalam ayat ini tidak ada kaitan dengan sambutan maulid yang diadakan. Tidak ada seorang pun Ulamak Salaf dan para mufassir yang muktabar mentafsirkan ayat ini dengan mengadakan maulid. Dan setakat ini kita belum pernah terbaca dalam mana-mana kitab tafsir yang menghubungkan ayat ini dengan maulidurrasul. Mungkin pelajar pondok yang berkenaan sahajalah yang mentafsir begitu.

2. Firman Allah Taala yang bermaksud: “Sesiapa yang membesarkan tanda-tanda Allah, maka membesarkan itu ialah setengah daripada menjunjung perintahNya dan menjauhi laranganNya.” (al-Haj : 32)

Kita jawab:- Ada sedikit perbedaan antara terjemahan yang dibawa oleh pelajar pondok dengan terjemahan yang terdapat di dalam Tafsir Pimpinan ar-Rahman Kepada Pengertian al-Quran yang ditulis oleh Shaikh Abdullah bin Muhammad Basmih, cetakan keenam 1983, yang berbunyi :

“Demikianlah (ajaran Allah); dan sesiapa yang menghormati syiar-syiar agama Allah, maka (dialah orang yang bertaqwa) kerana sesungguhnya perbuatan itu satu kesan dari sifat-sifat taqwa hati orang mukmin.”

Di sini kita tidak hendak bincang tentang perbedaan terjemahan itu, yang perlu dilihat apakah maksud 'Syiar-Syiar Agama Allah.’ Cuba kita lihat nota kaki (hasyiah) yang terdapat di dalam Tafsir Pimpinan ar-Rahman itu sendiri yang berbunyi:

Syiar artinya : Lambang. Syiar agama Allah atau Syiar Islam ialah: Amal ibadat yang zahir dan benda-benda yang berhubung dengan ugama, yang melambangkan ugama Allah. Misalnya di dalam ibadat haji ialah tawaf, saie, berwuquf di Arafah dan sebagainya. Demikian juga binatang ternakan yang dijadikan qurban atau yang dijadikan hadyah kepada faqir miskin yang ada di Mekah.

Di dalam huraian yang dibawa oleh penulis tafsir tersebut, kita tidak dapati syiar Agama Allah dimaksudkan dengan maulid, bahkan dimaksudkan dengan amalan ibadat haji itu sendiri iaitu Tawaf, Saie dan Wuquf. Untuk keterangan lebih lanjut sila rujuk tafsir al-Azhar yang di tulis oleh Prof. Dr. Hamka. Saya mencadangkan buku ini kerana ianya boleh dibaca oleh semua orang samada yang berkemampuan dalam bahasa Arab atau tidak. Kalau anda berkemampuan dalam bahasa Arab, masih banyak lagi buku-buku tafsir yang boleh anda rujuk contohnya, Tafsir Ibnu Kasir, Qurtubi, al-Munir, al-Asas fi at-Tafsir tulisan Said Hawa dan lain-lain, kesemuanya tidak mentafsir 'SYIAR-SYIAR ALLAH DENGAN MENGADAKAN MAULIDURRASUL.’ Hanya pelajar pondok berkenaan sahaja yang mentafsir begitu.

3. Meriwayat Imam Bukhari dalam Sohihnya, begitu juga Imam Ismail dan Abdul Razak :

“Bahawa diringankan azab Abi Lahab pada hari Isnin kerana memerdekakan Thuaibah iaitu hamba yang menceritakan khabar gembira tentang kelahiran Nabi s.a.w.”

Kita jawab:- Dakwaan penulis pondok berkenaan bahawa hadis ini terdapat dalam Sohih Bukhari itu adalah palsu semata-mata dan satu fitnah terhadap Imam Bukhari. Begitu juga ianya tidak terdapat di dalam riwayat Ismaieli dan Abdul Razak. Cuma Suhaifi ada mengemukakan cerita ini tanpa menyebut sanad. Sila lihat Umdatul Qari, karangan Badruddin Aini, juz. 20, halaman 95. Fathulbari, juzu’ 19, halaman 174 - 175. Karangan al-Hafiz Ibnu Hajar Asqalani. Raudhul Unuf, juzu’ 5, halaman 191. Karangan as-Suhaili.

Yang ada dalam Sohih Bukhari hanyalah kata-kata Urwah berkenaan dengan Thuaibah pernah menyusukan Nabi s.a.w. setelah dimerdekakan oleh Abu Lahab. Di sana ada satu riwayat lain yang mengatakan Thuaibah tidak dimerdekakan pada hari kelahiran Nabi s.a.w. bahkan ianya dimerdekakan selepas hijrah Nabi s.a.w. ( Ibid, juzu’ 5, halaman 191). Dan juga tidak terdapat kata-kata “Diringankan azab Abu Lahab pada hari Isnin kerana memerdekakan Thuaibah” di dalam kata-kata Urwah itu. Untuk keterangan lanjut, sila lihat Sohih Bukhari, Kitabun Nikah, Bab Wa Ummahatukumullati Ardha'nakum.

Apa yang menghairankan kita, tidak ada seorang pun di kalangan pensyarah hadis ketika menghuraikan kata-kata Urwah ini membuat kesimpulan bahawa dengan menyambut maulidurrasul, seseorang muslim akan diringankan azabnya di dalam neraka sebagaimana yang berlaku terhadap Abu Lahab. Jelaslah idea kelebihan menyambut maulidurrasul berasaskan kata-kata Urwah itu tidak berpandukan pendapat ulamak muktabar.

Berdasarkan kenyataan di atas, dapatlah kita ringkaskan seperti berikut:

1. Bahawa kata-kata tersebut adalah semata-mata kala-kata Urwah. Bukannya hadis Nabi. Lagi pun Urwah meriwayatkannya secara Mursal. Beliau tidak menceritakan daripada siapa beliau mengambil kata-kata ini. Riwayat yang mursal tidak boleh dijadikan hujjah syari'yyah.

II. Peristiwa diringankan azab Abu Lahab pada hari Isnin ini hanya mimpi Abbas sewaktu belum memeluk Islam. Kenyataan ini juga tidak terdapat dalam Bukhari. Ulamak sudah sepakat (ijma’) bahawa mimpi seseorang apalagi seorang kafir tidak boleh dijadikan hujjah syar'iyyah, biar bagaimana tinggi keimanan, keilmuan dan ketaqwaannya. Kecuali mimpi para Nabi, kerana mimpi para Nabi adalah wahyu dan wahyu adalah benar. Mengikut pendapat ulamak salaf dan khalaf, bahawasanya orang kafir tidak diberi pahala di atas amalan baik yang dikerjakannya apabila mati di dalam kekufurannya itu. Ini berdasarkan kepada firman Allah Taala yang bermaksud:

" Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan lalu kami jadikan amal itu bagaikan debu yang berterbangan." (al-Furqaan, ayat: 23)

4. Diriwayatkan daripada Qatadah al-Ansori, Bahawasanya Nabi ditanya tentang berpuasa hari Isnin, berkata Nabi s.a.w: “Itulah hari yang dilahirkan aku padanya dan diturunkan kenabian ke atasku.”

Kita jawab :- Hadis ini tiada kaitan langsung dengan 'Maulid' bahkan ianya berkaitan dengan berpuasa sunat hari Isnin. Inilah sikap kita, sudah terbalik, mana amalan yang terdapat dalam hadis jarang kita amalkan, iaitu seperti berpuasa sunat hari Isnin tetapi amalan yang tiada nas seperti 'Maulid' itu kita amalkan dan kita pertahankannya mati-matian. Sudah terbalik nampaknya seperti kata orang “Burung punai kena kail, ikan sepat kena getah pemikat.” “Hujan ke langit, Air sungai deras ke hulu.”

5. Orang yang pertama merayakan maulid adalah sultan yang dikatakan seorang raja yang adil, warak, zuhud dan alim – Sultan Ibnu Malik al-Muzaffar – sehinggakan ulamak-ulamak yang muktabar didakwa telah menghadiri majlis maulidnya. Malah ulamak besar Syeikh Abu Khattab Ibnu Dihyah telah mengarang kitab Al-Tanwir yang membicarakan amalan maulid.

Kita jawab:-

Raja ini (wafat 630 H) bukanlah seperti yang didakwa itu bahkan dia seorang yang pemboros, pembazir harta rakyat dan zalim. Dialah raja yang pertama mengada-adakan (bid’ah) perayaan maulid nabi sehingga terbantut segala kegiatan ekonomi masyarakat, kerana perayaan ini dilakukan secara besar-besaran bermula dari bulan Safar lagi. Sambutan ini disertakan dengan nyanyian, permainan, dan berbagai-bagai bentuk hiburan. Lihat Mu’jamul Buldan jilid 1 ms 87 karangan Yaaqut al-Hamawi, Al-Qaulul Muktamad karangan Imam Ahmad b Muhammad Misri al-Maliki, Wafayatul A’yan karangan Ibnu Khallikan dan Duwalul Islam karangan Imam Zahabi.

Kalau Suyuti memuji raja ini bagaimana pula dengan ulamak-ulamak lain terutamanya Yaqut yang hidup sezaman dengan Raja Muzaffar itu sendiri. Siapakah agaknya lebih tahu tentang raja itu; Yaqut atau Suyuti?

Berkenaan Syeikh Abu Khattab Ibnu Dihyah – Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani menulis di dalam Lisanul Mizan jilid 4 ms 296. Dia seorang yang suka memburuk-burukkan imam-imam dan ulamak-ulamak salaf (bermulut hodoh), dungu, sangat sombong, dangkal dan alpa dalam hal-hal agama. Hafiz Ibnu Hajar menulis lagi tentangnya; Ibnu Najjar berkata:

“Saya melihat ulamak bersepakat tentang dusta dan kelemahannya.” (Ibid ms 295)

Besar sungguh ulamak ini sehingga semua ulamak sepakat mengatakan dia pendusta dan lemah! Ulamak-ulamak seperti inilah yang sentiasa bersedia menjadi pengampu dan pembodek raja yang zalim!!

6 Diriwayatkan daripada Abu Hurairah: Bersabda Rasulullah: “Tidak berhimpun satu perhimpunan pada satu majlis di dalam masjid daripada masjid-masjid Allah, lalu mereka membaca al-Quran dan bertadarus sesama mereka, melainkan turun ke atas mereka ketenangan yang diselubungi rahmat Allah serta dilingkungi para malaikat di sisinya.” (Sohih Muslim).

Kita jawab :- Hadis ini langsung tidak menyentuh soal Maulidurrasul, bahkan hadis ini menyentuh soal membaca al-Quran. Ini telah disepakati bahawa ianya sabit dan tidak ada apa yang hendak dibantah lagi. Yang kita bantah laiah perayaan menyambut maulidurrasul bukannya membaca al-Quran.

7. Bersabda Nabi s.a.w: “Tidaklah berhimpun satu perhimpunan di dalam suatu majlis lalu mereka tidak berzikir mengingati Allah dan tidak berselawat ke atasku, melainkan kekurangan dan penyesalan ke atas mereka di hari Qiamat.”

Kita jawab :- Hadis inipun tidak ada kena mengena dengan maulidurrasul, dan tidak ada kena mengena dengan berdiri sewaktu berselawat.

8. Firman Allah Taala: “Kami ceritakan kepada engkau setiap perkhabaran daripada kisah-kisah Nabi yang menguatkan hati engkau dengannya dan datang kepada engkau dalam perkhabaran ini, kebenaran, pengajaran dan peringatan bagi orang yang beriman.” (Hud : 120).

Kita jawab:- Ayat ini juga tiada kaitan langsung dengan maulidurrasul yang sedang kita bicarakan. Saya pun tidak faham kenapa Pelajar Pondok berkenaan itu membawa ayat ini dalam memberi hujjah tentang maulid. Nampaknya beliau tidak kena memasang sekeru pada nat. Kalau begini jadinya maka akan rusaklah ugama kita. Nauuzubilaah min zaalik..

9. Meriwayatkan Imam Ahmad dan Hakim daripada Suhaib, Nabi bersabda: “Seseorang yang terlebih baik di antara kamu ialah mereka yang menjamu makanan dan menjawab salam.” Berkata al-lraqi hadis ini sahih sanadnya. Meriwayat Tirmizi: “Bahawa sahabat-sahabat Nabi tidak bersurai mereka daripada majlis bertilawah al-Quran dan berzikir, melainkan selepas menikmati jamuan.”

Kita jawab:- Hadis-Hadis ini juga tidak ada kena mengena dengan merayakan maulidurrasul. Kita nampak pelajar pondok berkenaan seolah-olah ingin menyatakan bahawa apa salahnya kita merayakan maulidurrasul kerana maulid itu pengisiannya ialah selawat, berzanji, baca rawi, berzikir, baca al-Quran dan makan minum. Semua perbuatan tersebut adalah ibadah dan boleh pahala. Jadi manakah yang dikatakan bidaah itu. Adakah baca al-Quran, berzikir, berselawat itu dikatakan bidaah? Mungkin pelajar pondok tersebut menjawab tidak bidaah sekali-kali! Bahkan mendapat pahala pula.

Kalau begitu keadaannya cuba pula jawab soalan ini iaitu: Kenapa kita menghukum Loteri Kebajikan Masyarakat itu sebagai judi? Tiket yang kita beli dengan harga satu ringgit itu adalah kita anggap sedekah semata-mata, kertas yang bertulis nombor itu adalah semata-mata kertas, tidak haram menyentuh kertas itu. Dan duit seratus ribu yang kita dapat itu ialah hadiah daripada Kebajikan Masyarakat semata-mata. Mana judinya, semua nampak halal belaka. Begitulah halnya maulid, kalau kila lihat pengisiannya memanglah baik-baik belaka. Sebab itulah ramai orang menjadi keliru. Yang kita persoal di sini ialah menyambut maulid itu sendiri, adakah ianya pernah dilakukan oleh sahabat, tabien dan para ulamak salafussoleh? Jawabnya tidak pernah.

Jadi, kenapa pula kita memandai-mandai menokok tambah ibadat yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi s.a.w, sahabat, tabien dan ulamak yang terdahulu?

Dl ANTARA SEBAB MENGAPAKAH MASYARAKAT

KITA BEGITU GHAIRAH MENGADAKAN

SAMBUTAN MAULIDURRASUL

Di antara faktor yang menyebabkan masyarakat kita begitu ghairah mengadakan sambutan maulidurrasul, sehingga ada di kalangan mereka sanggup menyembelih beberapa ekor lembu dengan harapan akan mendapat ganjaran yang besar daripada Allah s.w.t. Hal ini disebabkan oleh tersebarnya hadis-hadis dan kata-kata sahabat yang palsu (maudhu’) berkenaan dengan kelebihan menyambut perayaan maulidurrasul.

Apa yang mendukacitakan kita, bukan sahaja pelajar-pelajar pondok yang terlibat dalam penyebaran perkara bid'ah ini bahkan Tok Guru pondok juga turut terlibat dalam penyebarannya. Sebagai contoh Haji Ghazali guru Pondok Tunjung mengemukakan beberapa kata-kata palsu yang disandarkan kepada Nabi s.a.w., Khulafa'ur Rasyidin dan Imam Syafie di dalam buku kecilnya yang bertajuk 'Hukum mengerjakan maulud dalam Islam'. Kata-kata itu ialah:

1) Kata Saidina Abu Bakar r.a. yang bermaksud:

“Barang siapa membelanja ia satu dirham pada perbuatan Maulud Nabi s.a.w. nescaya adalah ia menjadi taulan dalam syurga.”

2) Kata Saidina Umar r.a. yang bermaksud:

“Barang siapa membesar ia akan maulud Nabi s.a.w. maka sesungguhnya telah menghidup ia akan Islam.”

3) Kata Saidina Othman r.a. yang bermaksud:

“Barang siapa yang membelanja akan ia satu dirham atas membaca kisah Maulud Nabi s.a.w. maka seolah-olah hadir ia perang Badar dan Hunain.”

4) Kata Saidina Ali r.a. yang bermaksud:

“Barang siapa membesar ia akan Maulud Nabi s.a.w. nescaya tidak keluar ia daripada dunia melainkan dengan iman.”

5) Kata Imam Syafie r.a. yang bermaksud :

“Barang siapa menghimpun ia akan saudaranya yang muslimin kerana memperbuatkan Maulud Nabi s.a.w. dan menyediakan bagi mereka itu makanan dan minuman dan memperbuat ia akan kebajikan nescaya membangkit oleh Allah Taala akan dia pada hari kiamat berserta siddiqin dan syuhadat dan adalah ia dalam syurga Jannatunnaim.”

Sebenarnya di dalam Madarijussu'ud (rujukan utama pengamal maulid) terdapat sabda Nabi s.a.w. sebelum kata-kata Khulafa'ur Rasyidin yang dikemukakan oleh Hj. Ghazali. Sabdaan itu bermaksud :

"Siapa yang membesarkan maulidku aku akan memberi syafaat kepadanya pada hari kiamat nanti dan siapa yang membelanjakan satu dirham kerana maulidku maka seolah-olah dia telah membelanjakan emas sebesar Bukit Uhud di jalan Allah.”

Mengapa Hj. Ghazali tidak mengemukakan sabdaan ini di dalam buku kecilnya itu? Adakah dia merasakan berdusta di atas nama Nabi s.a.w. merupakan satu dosa besar yang dijanjikan tempat di dalam neraka tetapi tidak mengapa kalau di atas nama sahabat-sahabat Nabi s.a.w. terutamanya Khulafa'ur Rasyidin? Kalau begitulah, kaedah manakah yang digunakan oleh beliau?

Sebenarnya kesemua kata-kata tersebut adalah palsu semata-mata. Kalau benar kata-kata tersebut keluar daripada mulut sahabat, kenapa para sahabat tidak pernah membuat perayaan menyambut maulidurrasul. Sedangkan para sahabatlah orang yang paling dekat dan paling kuat mencintai Nabi s.a.w.. Kalau begitu keadaannya seolah-olah para sahabat itu hanya bercakap kosong sahaja, kerana mereka hanya menyuruh orang lain membuat perayaan maulid sedangkan mereka sendiri tidak membuatnya. Kalau begitu keadaannya maka jadilah sahabat Nabi s.a.w. termasuk di dalam firman Allah yang bermaksud :

“Patutkah kamu menyuruh orang membuat kebaikan sedangkan kamu lupa akan diri kamu sendiri, padahal kamu semua membaca kitab Allah, tidakkah kamu berakal.” (Surah al-Baqarah. ayat: 44)

Na'uzubillah....... Sekali-kali para sahabat tidak tergolong dalam ayat ini.

Sebenarnya pencinta-pencinta maulid ini, kesemuanya mengakui bahawa maulid ini adalah bid'ah, tetapi bid'ah hasanah. Kata mereka, walaupun tidak ada nas-nas al-Quran, al-Hadis atau Ijmak tetapi ada qias kata mereka. Kalau begitu apa perlunya kepada qias kalau sudah ada kata-kata sahabat seperti tersebut di atas tadi. Bukankah kata-kata sahabat tersebut (mengikut dakwaan mereka) sudah merupakan nas yang terang dan jelas. Tetapi bagaimana pula tokoh-tokoh ulamak Islam seperti Imam Suyuthi (rujukan utama pengamal maulid) pula menafikan adanya nas seperti ini, dan beliau cuba mensabitkan maulid dengan jalan qias! Bukankah ini satu pertentangan yang nyata? Untuk mensabitkan maulud dengan jalan qias mereka mengemukakan sebuah hadis sebagai rujukan qiasnya (maqis alaih).

Hadis itu bermaksud:

Bahawasanya Nabi s.a.w. datang ke Madinah maka baginda dapati orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura iaitu hari 10 Muharram. Maka Nabi bertanya kepada orang Yahudi itu, “Kerana apa kamu berpuasa pada hari Asyura?” Jawab mereka, “Itu adalah hari peringatan. Pada hari ini dikaramkan Fir’aun dan pada hari ini juga Musa dapat kelepasan. Dan kami berpuasa kerana bersyukur kepada Tuhan.” Maka Nabi menjawab, “Kami lebih patut menghormati Musa berbanding daripada kamu.” Tetapi qias yang seperti ini dinamakan qias ma'al fariq (qias dengan sesuatu yang tidak ada kena mengena dengan apa yang didakwakan) kerana bukankah sebagai menyatakan kesyukuran Nabi s.a.w. berpuasa pada hari 10 Muharram itu sepertimana orang-orang Yahudi berpuasa tetapi adakah kita berpuasa untuk merayakan hari kelahiran Nabi s.a.w. itu dan kalau kita berpuasa pada hari itu apa ertinya berpuasa pada hari perayaan? Dan orang-orang Yahudi bersyukur kerana kelepasan Nabi Musa daripada bencana Fir’aun bukannya kerana menyambut hari kelahiran Nabi Musa a.s.

Daripada perbincangan yang lalu saudara/ri pembaca dapat melihat bagaimana untuk menegakkan perkara bid'ah itu, penyebar-penyebarnya terpaksa berdusta dan mengemukakan dalil-dalil serta hujah-hujah yang terdiri daripada nas-nas palsu bermula daripada pelajar pondok (yang berkenaan) sehinggalah kepada Tok Guru pondok (berkenaan).

Sebagai mengakhiri risalah ini kami berseru kepada muslimin muslimat supaya menjauhi amalan-amalan bid'ah seperti maulid ini kerana ia jelas tidak bersumberkan nas-nas yang terang dalam syariat dan marilah sama-sama kita mengikut Al-Quran, Sunnah Nabi dan juga Sunnah Para Sahabat sebagaimana sabda Nabi s.a.w. yang bermaksud:

"Sesungguhnya sesiapa yang akan hidup daripada kamu selepasku, dia pasti akan melihat banyak perselisihan. Oleh itu, mestilah kamu berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafaurrasyidin yang terpimpin. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan geraham-geraham kamu. Hindarilah perkara-perkara baru (dalam urusan ugama) kerana semua perkara baru (dalam ugama) itu bid'ah dan semua bid'ah itu adalah sesat."

(Riwayat Tirmizi j.2 ms.92, Abu Daud j.2 ms.279 dan lain-lain)