Thursday, March 26, 2009

Kaedah Mengkritik

Kaedah Mengkritik Sesama Ahlus Sunnah Wal Jamaah


Ust Dr Abdullah Yasin

عَنْ ابْنِ عُمَر رَضِى اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا مَعْشَرَ مَنْ اَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَلمْ يَدْخُلِ الاِيمَانُ فِى قَلْبِهِ، لاَ تُؤْذُوا الْمُسْلِمِيْنَ وَلاَ تعيرُوْهُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّ مَنِ تَّبَعَ عَوْرَةَ أخِيْهِ الْمُسْلِمِ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ يُفَضِّحْهُ وَلَوْ فِى جَوْفِ رَحْلِهِ.

(رواه الترمذى - صحيح)

Terjemahan:

Daripada Ibnu Omar (ra) katanya: Rasulullah (sallallahu alaihi wasalam) telah bersabda: “Wahai sekalian orang yang hanya Islam pada lidahnya, yang belum lagi sampai iman ke dalam hatinya; Janganlah kamu menyakiti orang-orang Islam, dan janganlah kamu memburuk-burukkan mereka, dan janganlah kamu suka mencari-cari kelemahan atau keburukan mereka, karena sesungguhnya sesiapa yang (gemar) mencari-cari keburukan saudaranya sesama Islam, niscaya Allah akan mencari-cari keburukannya, dan sesiapa yang Allah cari-cari kelemahannya niscaya Allah akan bongkarkan keburukannya walaupun ia ketika itu sedang berada di tengah-tengah rumahnya (di tempat yang tersembunyi).

[Hadis Sahih Riwayat Imam Tarmidzi]

Mukaddimah:

Golongan Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah adalah satu golongan yang bukan saja mempunyai keistimewaan dari sudut Akidah dan cara mereka beribadah tetapi juga memiliki keistimewaan atau ciri-ciri khas dalam pergaulan, lebih-lebih lagi dalam mereka menilai atau mengkritik sesama golongan Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah. Pembahasan ini tidak termasuk kritikan mereka kepada Kuffar atau Golongan Luar Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah.

Pada garis besarnya terdapat 3 puak dalam Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah dalam mereka membuat kritikan atau tegoran kepada rakan-rakan mereka sesama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah:

1. Puak yang terlalu bertolak ansor. Mereka bersikap berdiam diri hatta terhadap perkara-perkara asas yang menjadi pembeda utama antara mereka dengan golongan yang lain.

2. Puak yang tidak bertolak ansor dalam segala hal. Puak ini lupa bahwa perbedaan pandangan dalam masalah cabang telah wujud pada zaman para Sahabat Rasul (sallallahu alaihi wasalam) lagi. Tidak ragu lagi bahwa puak yang ekstrim ini seolah-olah ingin mencari sesuatu yang mustahil.

3. Puak yang wasatha (pertengahan) di antara dua puak di atas. Mereka tidak akan bertolak ansor dalam hal yang berkaitan dengan akidah. Mereka akan terus berusaha mengajak umat manusia kepada akidah yang sahih (betul) melalui tarbiyah dan ta’liim (pendidikan dan pengajaran). Tetapi pada waktu yang sama puak ini dapat menerima realiti akan adanya perbedaan pandangan di kalangan mereka dalam hal yang berkaitan dengan masalah ijtihad. Mereka berusaha untuk memperbetulnya dengan cara hikmah. Perbedaan ijtihad itu tidak menghalang untuk mereka terus membimbing masyarakat.

Uraian Al-Hadis:

Dari hadis di atas dapat diambil beberapa kesimpulan:

  1. Sikap suka menyakiti muslim lain, mencela dan mencari-cari kelemahan mereka, lebih-lebih lagi kalau sasarannya para ulama adalah di antara tanda muslim yang belum beriman.

  1. Hati yang diliputi oleh iman akan dapat membentuk prilaku manusia berkenaan untuk menjadi muslim mukmin yang baik.

  1. Allah memberi amaran keras akan membongkar kesalahan dan keburukan orang yang gemar menceritakan aib muslim lain.

Kaedah Membuat Kritikan:

Terdapat beberapa kaedah atau adab dalam kita membuat kritikan atau tegoran terhadap sesama golongan Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah:

(1) Takut Kepada Allah

Sungguh banyak ayat Al-Quran ataupun hadis Nabi yang melarang kita mengumpat atau menceritakan keburukan orang lain. Allah seolah menyamakan perbuatan itu seperti memakan daging saudara kita yang sudah mati.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan daripada sangkaan, sesungguhnya sebahagian daripada sangkaan itu adalah dosa.

(Al-Hujurat 49:12)

Rasulullah (sallallahu alaihi wasalam) bersabda: “Riba ada 70 pintu, pintunya yang paling rendah ialah berzina dengan ibunya, dan pintu riba yang paling tinggi ialah menceritakan keburukan saudaranya (seagama)”.

[Hadis Sahih Riwayat Thabarany daripada Al-Barraa dalam Al-Ausath dan lihat Silsilah Hadis Sahih no. 3531]

Hal ini tidak mengherankan karena Nabi (sallallahu alaihi wasalam) pernah menyebut dalam hadis yang lain bahwa dosa pengumpat adalah lebih besar daripada berzina karena dosa zina boleh diampuni oleh Allah SWT tetapi dosa mengumpat mesti mohon maaf kepada manusia yang diumpat.

(2) Dahulukan Baik Sangka

Asas kaedah ini ialah firman Allah dalam Al-Hujurat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan daripada sangkaan, sesungguhnya sebahagian daripada sangkaan itu adalah dosa.

(Al-Hujurat 49:12)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا

Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.

(Al-Hujurat 49:6)

Dan Rasulullah (sallallahu alaihi wasalam) bersabda: “Memadailah seseorang itu dibebankan dosa jika ia menceritakan setiap apa yang dia dengar”.

[HR Muslim]

Jadi pada asalnya: Muslim mestilah menyembunyikan ‘aib muslim lain dan berbaik sangka sentiasa terhadap mereka kecuali ketika darurat.

(3) Berilmu Dan Adil

Jika kita memperkatakan tentang seseorang maka hendaklah kita memperkatakannya berdasarkan ilmu dan bersikap adil. Dan asas kaedah ini ialah antara lain firman Allah:

وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى

Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil: Berlaku adil-lah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.

(Al-Maaidah 5:8)

وَلاَ تَبْخَسُواْ النَّاسَ أَشْيَاءهُمْ

Dan janganlah kamu-kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka

(Huud 11:85)

Ibnu Taimiyah berkata: Memperkatakan keburukan manusia lain mestilah berlandaskan keilmuan dan keadilan, bukan berdasarkan kejahilan dan kezaliman, sebagaimana yang dilakukan oleh Ahlul Bid’ah (Minhajus Sunnah 4/337).

Juga termasuk keadilan yang dituntut ialah kita tidak sepatutnya hanya melihat keburukan seseorang tanpa melihat kebaikannya. Kita tidak sepatutnya menguburkan atau melupakan kebaikan seseorang hanya karena padanya terdapat satu atau dua keburukan. Renunglah tentang rahasia yang tersirat di dalam sabda Nabi Muhammad (sallallahu alaihi wasalam): “Air jika sampai dua kulah tidak menanggung najis” [HR Daramy dan Daruquthny].

Keadilan tersebut wajib ditegakkan walaupun kita berbeda dengan mereka dalam akidah, mazhab dan aliran.

Memperkatakan keburukan orang lain tanpa ilmu dan keadilan inilah penyebab utama perpecahan dikalangan umat, dan timbul sifat hasad dengki dan saling benci-membenci. Bahkan ini juga penyebab kegagalan usaha penyatuan kekuatan umat.

(4) Kebaikan Yang Banyak Sebagai Ukuran

Jika air sampai batas dua kulah maka air tersebut dalam pandangan Islam dihukumkan suci dan tidak bernajis walaupun terdapat sedikit najis di dalamnya. Mengapa? Karena yang menjadi ukuran ialah banyaknya air yang bersih itu, bukan diukur berdasarkan najis yang sedikit yang menimpanya.

Demikian juga dalam kita menilai manusia. Tidak ada manusia yang tidak pernah melakukan kesalahan kecuali para nabi dan para rasul. Oleh sebab itu jika seorang manusia banyak melakukan kebaikan tetapi pada waktu yang sama dia juga pernah melakukan kesalahan atau kesilapan, maka yang menjadi ukuran di sini ialah kebaikannya, bukan keburukannya.

Adalah zalim jika kita lupakan kebaikan yang banyak hanya karena kesalahannya yang sedikit. Lebih-lebih lagi jika hal tersebut berkaitan dengan masalah ijtihad. Menurut Hadis Nabi (sallallahu alaihi wasalam) bagi mereka yang telah memenuhi syarat berijtihad, jika tepat ijtihadnya maka mereka mendapat dua ganjaran, dan jika mereka keliru dalam ijtihadnya maka mereka mendapat satu ganjaran.

Mengapa di kalangan umat Islam masih wujud lagi orang yang begitu lantang mempersalahkan dan sinis dengan pandangan Imam-imam Mazhab? Padahal Allah SWT dan Rasulullah (sallallahu alaihi wasalam) tidak mempersalahkan mereka walaupun mereka tersalah?

Kita tidak ragu lagi bahwa sesiapa yang berijtihad mencari kebenaran (Al-Haq) dan agama (Ad-diin) berdasarkan panduan Rasulullah (sallallahu alaihi wasalam), lalu terkeliru dalam beberapa hal, maka Allah SWT akan mengampuni dosanya sebab Allah SWT telahpun mengabulkan doa Nabi dan Mukminiin: Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah (Al-Baqarah 2:286).

Dan sehubungan dengan ini maka timbullah kaedah dari Imam Ibnu Taimiyah:

العِبْرَةُ بِكَمَالِ النِّهَايَةِ لاَ بِنَقْصِ الْبِدَايَةِ

“Yang menjadi ukuran ialah kesempurnaan pada akhirnya, bukan kekurangan pada permulaannya”.

(5) Ukuran Kasih Dan Benci

Asas kaedah ini ialah firman Allah: Dan (ada pula) orang-orang yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampur-baurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. (At-Taubah :102)

Berdasarkan ketentuan di atas nyatalah bahwa setiap muslim biasanya terdapat dua perkara:

  1. Perkara yang baik; dan dengan sebabnya seseorangdikasihi

  1. Perkara yang buruk; dan dengan sebabnya seseorang dibenci

Adapun kasih dan walaa’ yang mutlak adalah kepada orang-orang yang beriman, sedangkan kebencian dan barraa’ yang mutlak adalah kepada orang-orang kafir, sesungguhnya konsep kasih dan benci ini dihitung sebagai perkara prinsip dalam masalah keimanan.

Hanya saja jika kaedah ini diterapkan pada orang Islam yang mencampur adukkan amalannya yang baik dengan yang jahat. Dia mestilah dikasihi karena amal salehnya, dan selanjutnya dia hendaklah dipuji sewajarnya. Sebaliknya dia juga patut dibenci karena amal jahatnya, dan selanjutnya mendapat celaan yang setimpal.

Atas dasar itu, jika seorang muslim melakukan kesalahan atau kesilapan, maka tidaklah wajar kalau dia dibenci dan dicaci secara mutlak sebagaimana yang dilakukan oleh puak khawarij yang mengkafirkan setiap muslim yang melakukan dosa besar atau maksiat. Sebagaimana juga kita tidak boleh memuji seseorang secara mutlak dan tidak akan mengangkat derjatnya ke tahap Abu Bakar dan Omar atau tahap Jibrail dan Mikail (as) seperti yang dilakukan oleh Murji-ah.

Sikap kita sebagai pengikut setia puak Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah adalah senantiasa WASATHA iaitu pertengahan, bukan GHULUW dan bukan pula TAQSHIR (Lihat Makalah: Umatan Wasatha).

Kesimpulan:

1. Golongan Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah adalah golongan yang akan selamat. Namun golongan ini ada beberapa ciri-cirinya yang tidak ada pada golongan yang lain.

2. Di antara ciri-cirinya ialah mereka mempunyai kaedah atau formula atau adab-adab tersendiri bagaimana cara menilai kesalahan sesama mereka.

3. Ahlus Sunnah Wal Jamaah bukan hanya mengutamakan aspek Akidah dan Cara Ibadah tetapi juga memberi penekanan pada aspek mualamat atau pergaulan dengan sesama insan.

No comments: